Tuesday, June 11, 2019

Penulis: Faiz Jinjhu
pak-harto
Presiden Soeharto melambaikan tangan

Jurus Tupai - Soeharto atau Pak Harto, Siapapun yang mendengar nama itu pasti akan terlintas dalam pikiran mereka sosok Jendral besar yang memiliki karir cemerlang dalam penumpasan G30S/PKI dimana dunia barat memujinya dengan menjadikan photonya sebagai sampul majalah Time yang merupakan majalah ternama dari Amerika dengan caption The Smiling General atau Jendral yang selalu tersenyum atau sosok seorang presiden indonesia yang berhasil memproduksi 27 Ton beras dan menjadikan indonesia mampu meraih predikat negara swasembada pangan pada tahun 1984 yang di akui oleh Food and Agriculture Organization (FAO).
Namun nama Soeharto juga menjadi sosok pemimpin berdarah dingin yang tak segan-segan menghilangkan nyawa para penentangnya bagi mereka yang pernah merasakan kerasnya pemerintahan Otoriter Orde Baru ataupun mereka yang memiliki sejarah gelap dimana pernah di labeli sebagai simpatisan atau keturunan PKI atau bahkan memiliki keluarga yang menjadi korban tragedi 1965 yang merupakan tragedi paling berdarah sepanjang perjalanan bangsa Indonesia.
Krisis moneter dan demonstrasi berdarah-darah oleh mahasiswa pada awal tahun 1998 membuat sejarah mengulang dirinya kembali dimana setelah demonstrasi dan kerusuhan yang merenggut banyak nyawa itu melanda jakarta akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 sang Jendral besar itupun melepaskan kekuasaanya yang berarti berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya era Reformasi dan demokrasi.Salah satu hasil dari reformasi itu adalah tumbuh suburnya demokrasi itu di Indonesia dan selama hampir 2 dekade terakhir ini indonesia sudah melahirkan 5 Presiden dan beberapa kali sukses melaksanakan pemilihan umum.
Dibalik nama besar presiden Soeharto dengan berbagai prestasi dan juga tuduhan kejahatan, ternyata sosok yang terkenal dingin dan selalu tersenyum ini pernah mengalami momen menyedihkan dalam perjalanan hidupnya selama dan sesudah menjadi presiden.

Kematian Ibu Tien.

Seperti kata pepatah "dibalik kesuksesan seorang lelaki akan selalu ada perempuan hebat di belakangnya",ternyata hampir bisa di katakan benar,karea Siti Hartinah atau yang akrab di sapa Ibu Tien adalah sosok perempuan hebat di belakang kesuksesan presiden soeharto yang memerintah indonesia selama kurang lebih 32 tahun, jati tidak khayal jika sebagian masyarakat jawa mengatakan bahwa semenjak kematian Ibu Tien, Pak Harto seperti kehilangan kekuasaanya.
Ibu Tien merupakan anak kedua pasangan KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo. Ia merupakan canggah Mangkunagara III dari garis ibu.
Sebelum kematian Ibu Tien ternyata pak harto sudah mendapatkan firasat yang buruk akan kepergian orang yang di cintainya itu.
pak-harto-menangis
Presiden Soeharto dan Ibu Tien

Sehari sebelum Ibu Tien meninggal, Presiden Soeharto berangkat memancing ke Anyer. Sutanto, sang ajudan, juga turut menemaninya. Menjelang gelap Presiden Soeharto yang baru mendapat dua ikan merasakan firasat buruk. “Ini kok tidak seperti biasanya?” kata Soeharto seperti dikisahkan Sutanto dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011: 491).
Dan apa yang menjadi firasat pak Harto itu benar terjadi perempuan bernama asli Siti Hartinah ini mengembuskan napas terakhir di RSPAD Gatot Subroto. Ia meninggal pukul 05.10 karena serangan jantung.
Kepergian Ibu Tien yang mendadak itu merupakan pukulan berat bagi Pak Harto, dan saat Jenazah Ibu Tien dibaringkan diruang tamu, salah seorang Tim dokter kepresidenan yang bernama Satya yang datang masuk untuk menyampaikan belasungkawa mengatakan,"Pak Harto memeluk saya, kemudian berkata sangat perlahan, 'Piye to, kok ora iso ditolong...? (Bagaimana, kok tidak bisa ditolong?)' , sambil beberapa kali mengusapkan tetesan air matanya dengan sapu tangan".
Melihat momen seperti itu satya hanya bisa tertegun ,"Saya hanya tertegun, turut merasakan dalamnya kepiluan di hati Pak Harto," tutur Satya.
Pemerintah mengumumkan kematian Ibu Tien sebagai Hari Berkabung nasional selama 7 hari berturut-turut dengan mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda negara telah berduka karena kehilangan sosok Ibu negara.

Menjelang Lengser

Ketika arus Reformasi pada bulan mei 1998 tak terbendung lagi, demonstrasi dan kerusuhan terjadi dimana-mana,ekonomi negara yang hancur dan nilai tukar rupiah jatuh membuat kondisi nasional kacau balau,presiden Soeharto galau dan tidak menyangka akhir dari perjalanan pemerintahan orde baru akan menjadi seperti ini.
Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR desakan untuk mundur dari masyarakat dengan tuduhan dan hujatan yang di tujukan kepada soeharto membuat jendral tua itu semakin galau,apalagi sebagian para menteri dalam Kabinet Pembangunan VII perlahan-lahan mulai meninggalkanya.
Presiden Soeharto yang di ujung tanduk itu hanya bisa meneteskan air mata sebelum mengumumkan pengunduran dirinya,Menurut Titiek salah satu anaknya,Pak harto menangis karena dituduh yang bukan-bukan oleh orang-orang yang ingin dilindunginya.

Menjenguk L.B Moerdanie

Setelah enam bulan pasca jatuhnya pemerintahan orde baru Pak Haro itu ingin berjumpa dengan bekas anak buah kesayangannya, Benny Moerdani.
Ya Leonardus Benjamin Moerdani adalah "Raja Inteljen" kesayangan soeharto, dan Moerdani sendiri adalah seorang jendral yang sangat loyal dengan soeharto, hubungan Soeharto dan Benny sendiri sudah terjalin sejak operasi Mandala dalam perebutan Irian Barat pada era Presiden Soekarno hingga Soeharto naik menjadi seorang presiden , benny menjadi  salah satu orang paling penting yang dimiliki soeharto dalam mengamankan kekuasaanya.
Tapi pada 24 Februari 1988, beberapa hari menjelang Sidang Umum MPR 1988, Soeharto justru mencopotnya. Sejak itu, hubungan keduanya pun merenggang.
Pencopotan itu bermula dari sikap Benny yang menyampaikan hal tabu. Sambil menemani bermain biliard di Cendana, dia mengingatkan agar bosnya itu lebih tegas mengendalikan kiprah bisnis putra-putrinya. Begitu selesai berbicara demikian, Soeharto langsung meletakkan tongkat billiar dan meninggalkan Benny.

"Wah bapake ketoke nesu banget. Saya pasti selesai, hanya akan sampai di sini...," keluh Benny kepada seniornya, mantan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo seperti ditulis Julius Pour dalam Benny Tragedi Seorang Loyalis.

Dua tahun sebelumnya, Mei 1985, Kepala Badan Kepala Intelijen Negara Jenderal Yoga Sugama telah mengingatkan hal serupa. Kepada Soeharto dia meminta untuk tidak bersedia dipilih kembali sebagai presiden pada Sidang Umum MPR 1988. Selain karena faktor usia yang mulai sepuh (Soeharto berusia 67 tahun pada 1988), Soeharto terlampau lama menjadi presiden.

Hal lain yang mulai mengkhawatirkan adalah kiprah bisnis putra-putri sang presiden yang kian menggurita. Sepak terjang mereka di dunia bisnis amat rentan memicu kecemburuan sosial dan rentan menjadikan Soeharto sebagai sasaran tembak. 
Pak harto meminta Adnan membawa Benny moerdani untuk berjumpa denganya,"Kamu atur ya, bawa dia kemari." pinta Pak Harto,seperti yang di ungkapkan Adnan dalam memoar Keputusan Sulit Adnan Ganto yag ditulis Nezar Patria dan Rusdi Mathari.
Kemudian Tak lama setelah pertemuan disertai makan malam itu, Adnan segera menghubungi Benny dan menjelaskan ikhwal permintaan Soeharto. Pertemuan bersejarah nan menggetarkan itu pun berlangsung di Cendana. Mungkin karena sudah bertahun-tahun tak saling berkomunikasi, di awal pertemuan Adnan menggambarkannya malam itu sempat canggung.
pak-harto-beny-moerdani
Presiden Soeharto mengangkat Benny Moerdani sebagai Panglima TNI
Hingga kemudian sang Jenderal Besar melontarkan sebuah pengakuan kepada anak buah kepercayaan yang pernah disingkirkannya. "Ben, aku salah. Aku tidak mendengarkan omonganmu." dengan nada sedih dan berkaca-kaca,sedangkan Benny cuma menunduk. Matanya berkaca-kaca.

Comments 0